Jumat, 16 Oktober 2009

Pengertian Bid'ah

Saat ini trend menyesatlan golongan lain atas nama bid’ah demikian marak. Hal ini terjadi terutama setelah pemikiran Muhammad Ibn Abdil Wahab, Abdul Aziz Ibn Baz, Nasiruddin Al-Albani, Muhammad Ibn Sholih Al-Utsaimin, dan tokoh-tokoh Salafiyah modern lainnya masuk dalam wilayah intelektual Indonesia. Kaum muslimin yang selama berabad-abad adem ayem, toleran dan luwes dalam meyikapi perbedaan pendapat dan perubahan zaman harus berhadapan dengan segelintir orang yang mengaku sebagai “pahlawan agama”. Mereka menganggap, apa yang selama ini menjadi pedoman dan amalan mayoritas umat Islam telah menyeleweng dari ajaran Rasulullah saw. Padahal di belakang mayoritas umat Islam berdiri ratusan ribuan ulama yang kapasitas dan kualitasnya telah diakui dunia.

Sebenarnya, bagaimana corak pemikiran yang selama berabad-abad menjadi pedoman mayoritas masayarakat muslim? Bagaimana pandangan mereka terhadap bid’ah? Konsep apa yang mereka tawarkan? Dalam menyikapi budaya dan hal-hal baru? Benarkah mereka telah menyimpang dari kemurnian ajaran Rasulullah saw./ Tulisan akan akan berusaha membedahnya.


BID’AH DALAM TINJAUAN BAHASA.

Secara bahasa, bid’ah berasal dari akar kata bada’a yang memiliki dua arti:
a. Hal baru yang belum pernah ada contohnya. Ibn Manzhur, penulis kamus Lisan al-Arob mengatakan, “ “al-badi’ dan al-bid adalah sesuatu yang pertama kali. Bid’ah dengan makna ini tersebut dalam firman Allah QS. Al-Ahqof: 9: “Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama kali (bid’an) di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu...” dan QS, Al-Baqarah: 117, “Allah pencipta langit dan bumi (badii’usamawati wal ardh)…
b. Kesulitan dan beban seperti dalam ungkapan arab, “abda’at al-ibil” yang berarti menderum di jalan karena kurus kering, penyakit, atau musibah. Contoh penggunaan makna ini terdapat dalam hadis: “dari Ibn Mas’ud berkata: ‘seorang laki-laki dating kepada Nabi saw dan berkata: ‘Sesungguhnya aku telah kehilangan jalan (inni ubdi’a bii) karena hewan peliharaanku mati, maka bawalah aku!. Nabi saw. menjawab: ‘Aku tidak bisa. Kemudian seorang laki-laki berkata: “wahai Rasulullah, Aku akan menunjukkannya kepada orang yang bisa membawanya. Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang melakukannya..” (HR. Muslim)

DUA VERSI TENTANG BID’AH

Versi Pertama

Konsep bid’ah versi pertama adalah yang dipakai oleh Syafi’iyah (pengikut mazhab Sayfi’ai) dan hingga kini menjadi pedoman utama dalam kehidupan mayoritas masyarakat muslim di dunia. Secara umum bid’ah menurut golongan ini adalah “setiap perbuatan baru yang tidak dikenal pada masa Rasulullah saw. Dan bid’ah menurut versi pertama ini terbagi menjadi dua, yakni bid’ah mahmudah (terpuji) dan mdzmumah (tercela). Bahkan ada yang membagi menjadi lima seperti hukum taklifi. Berikut di antara definisi bid’ah yang disampaikan oleh beberapa ulama:

a. Definisi Imam As-Syafi’i
Imam Syafi’i, salah satu pendiri mazhab empat dan penyusun pertama kitab ushul fiqh mengatakan:

“Bid’ah itu ada dua: terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan ajaran sunnah berarti terpuji, sedang bid’ah yang menyalahi sunnah berarti tercela” dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dengan maknanya dari jalur Ibrohim Ibn Junaid dari As-Syafi’I.

“Hal yang baru ada dua macam: hal baru yang menyalahi kitab, sunnah, atsar sahabat, atau ijma’, ini adalah yang terlarang. Sedang hal baru yang termasuk kebaikan dan tidak menyalahi itu adalah hal baru yang tidak tercela” dikeluarkan oleh Al-baihaqi dalam karyanya Manaqib As-Syafi’I. (Ibn Hajar al’Asqolani, Fath al-Bari, juz.20, hal.330)

b. Definisi ‘Izzudin Ibn Abdissalam
‘Izzudin Ibn Abdissalam, seorang ahli fiqh, ushul fiqh, dan ahli hadis yang terkenal dengan julukan sulthon al-‘ulama dalam Qowa’id al-Ahkam mengatakan:

“bid’ah adalah melakukan perbuatan yang tidak dikenal di masa Nabi saw. Bid’ah terbagi menjadi: bid’ah wajibah, bid’ah muharromah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah, dan bid’ah mubahah” (Izzuddin ibn Abdissalam, Qowa’id al-Ahkam fi Masholih al-Anam, juz.2, hal. 172)

c. Definisi Imam An-Nawawi
An-Nawawi, seorang pakar hadis dan ahli fiqh yang menyandang mujtahid fatwa mazhab Syafi’I mengatakan:

“Bid’ah adalah menciptakan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah saw. Bid’ah terbagi menjadi hasanah (yang baik) dan qobihah (yang buruk)” (An-Nawawi, Tahdzib al-Asma wa al-Lughoh, juz III, hal.298)

d. Definisi Ibn Hajar Al-‘Asqolani
Ibn Hajar Al-‘Asqolani, seorang pakar hadis kenamaan dan komentator Shohih al-Bukhori mengatakan dalam mukaddimah Fath al-Bari:

“Ucapan Umar, ‘sebaik-baik bid’ah’. Bid’ah adalah melakukan perbuatan yang belum pernah dilakukan. Apabila sesuai dengan sunnah maka termasuk yang baik, apabila menyalahi sunnah maka termasuk yang sesat. Inilah (bid’ah yang sesat) yang dimaksud dengan, ketika terdapat celaan terhadap bid’ah. Sedang apabila tidak menyalahi sunnah maka kembali kepada hokum asalnya, diperbolehkan” (Ibn Hajar Al-‘Asqolani, Fath al-Bari, juz I, hal 84)

Di bagian lain dalam karyanya tersebut, ia juga mengatakan;

“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’ maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam maungan sesuatu yang dianggap buruk maka disebut bid’ah mustaqbahah. Bila tidak masuk dalam naungan keduanya maka masuk dalam bagian mubah” (ibid, juz VI, hal. 292)

e. Definisi Ibnul Qoyyim al-Jauziah
Ibnul Qoyyim, murid utama Ibn Taymiah, juga salah seorang ulama yang menjadi rujukan kaum Salafiyah dalam tabi al-iblis justru berpendapat berseberangan dengan apa yang dipegang oleh golongan salafiyah. Ibnul Qoyyim mengatakan:

“Bid’ah adalah ungkapan untuk menyebut sesuatu yang belum pernah ada kemudian diadakan. Umumnya bid’ah bertentangan dengan syari’at dan menyebabkan penambahan atau pengurangan syari’at. Apabila membuat bid’ah yang tidak menyalahi syari’at dan tidak menyebabkan (penambahan atau pengurangan) terhadap syari’at maka mayoritas ulama salaf memakruhkannya. Mereka senantiasa menghindar dari ahli bid’ah meskipun masih diperbolehkan karena menjaga asal, yakni mengikuti yang ada… Telah terjadi hal-hal baru yang tidak bertentangan dengan syari’at dan tidak menyebabkan (penambahan atau pengurangan) terhadap syari’at dan mereka (ulama salaf) menganggap tidak mengapa melakukannya” (Abdurrouf Muhammad Utsman, Mahabbh ar-Rosul baina al-Ittiba wa al-Ibtida, ha.282)

Definisi bid’ah versi pertama ini berangkat dari tiga dasar:
a. Cakupan pengertian bid’ah berlaku untuk semua hal yang berkaitan dengan hal-hal baru yang tidak dikenal pada masa Rasulullah saw, baik memiliki landasan dari syara’ atau tidak.
b. Semua keterangan syara’ yang berkaitan dengan bid’ah seperti hadis “kullu bid’atin dholalah” adalah kata ‘am (universal) yang telah dipersempit cakupan hukumnya (‘am makhshush)
c. Segala macam tradisi meskipun terlepas dari unsur ibadah dapat dimasukkan ke dalam pembagian bid’ah.