Sabtu, 19 Desember 2009

TEORI KECERDASAN BARAT

A. Kecerdasan Intelejensi (IQ)
Anda berada di Jakarta. Apa yang muncul dalam benak Anda, ketika tiba-tiba teman anda yang baru saja tiba dari Bogor memberi tahu anda, bahwa kemarin dia bertemu dengan Fikri, teman karib anda, di suatu tempat di Bogor, padahal kemarin seharian anda bersama Fikri? Sudah pasti anda akan menjawab mustahil dan mengatakan bahwa teman yang memberi tahu anda itu berbohong, atau anda akan menyangsikan dia dan mengatakan bahwa dia pasti salah lihat. Kesimpulan anda berangkat dari kepastian bahwa seseorang tidak mungkin berada di dua tempat dalam satu waktu.

Salah satu definisi tentang manusia adalah “spesies yang berpikir”. Berpikir adalah proses mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisa, memadukan, dan menilai obyek yang dipikirkan. Kejadian di atas adalah contoh dari definisi ini. Aktifitas berpikir tempatnya di otak manusia, tepatnya otak kiri. Otak kiri adalah kemampuan intelejensi manusia. Pikiran-pikiran logis-analisis dan matematika bersumber dari sini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi hingga mencapai bentuknya seperti sekarang ini, bersumber dari sini. Sementara otak kanan menyimpan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan emosi dan seni. Inilah bagian kreatifitas manusia.

Dengan intelejensinya manusia berhasil mengungkap rahasia-rahasia alam semesta, untuk digunakan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kita mendapati perbedaan yang sangat tajam antara cara mencari makan manusia jaman primitif dengan manusia jaman kini. Dahulu, manusia mencari makan dengan peralatan sederhana, dengan tombak dan panah, tetapi lihatlah kini, tombak dan panah tersebut telah berganti menjadi mesin-mesin produksi bertekhnologi tinggi. Untuk berhubungan dengan saudaranya yang berada di tempat yang jauh manusia jaman dulu harus menempuh perjalanan bermil-mil dan memakan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, tetapi tengoklah kondisi mereka sekarang, hanya menyentuh bentuk-bentuk perintah yang ada di monitor kecil dengan jari mereka bisa bertatap muka secara langsung. Dengan intgelejensi pula manusia berhasil merumuskan aturan-aturan dan sistem-sistem sosial guna meningkatkan kualitas hidupnya. Terciptalah sistem kapitalisme dan sosialisme dalam bidang ekonomi, demokrasi dan komunisme dalam bidang politik, meskipun sepanjang sejarah kedua sistem itu saling bertempur dan bersaing.

Setelah memperhatikan manusia, beralihlah ke kehidupan binatang. Maka kita mendapati kehidupan kaum binatang sama sekali tidak berubah dan takkan pernah berubah sampai kapanpun. Cara mencari makan binatang tetap saja dengan cara mengkais-kais dengan cakarnya. Kehidupan “sosial” binatang, yang tetap saja –bahkan selamanya- mempertahankan hukum rimba, siapa yang kuat dia lah yang menjadi pemenang.

Apakah kecerdasan intelejensi saja –tanpa kecerdasan emosi- sudah cukup untuk membuat kualitas kehidupan manusia menjadi baik?

Perkembangan pesat industri di Eropa pada abad ke 16 seiring dengan miskinnya sumber daya ekonomi di benua biru tersebut mendorong orang-orang Eropa mencari sumber-sumber ekonomi di benua lain. Pada awalnya hanya berdagang, namun pada akhirnya berubah menjadi menguasai, begitu melihat penduduk daerah yang disinggahi masih terbelakang. Mulailah penjajahan negeri-negeri barat terhadap negeri-negeri Timur dan Afrika, hingga memasuki benua Amerika. Penindasan, pembunuhan, pemerkosaan, dan kesewenang-wengangan menimpa bangsa Asia dan Afrika yang masih bodoh oleh bangsa Eropa yang sudah cerdas. Tentu saja, sebagai manusia yang menyimpan insting mempertahankan diri, bangsa-bangsa terjajah itu mengadakan perlawanan. Akhirnya meletuslah peperangan demi peperangan yang memakan jutaan korban.

Survei di negara-negara barat tentang tindak kejahatan dan keboborokan moral masyarakatnya, seperti kasus aborsi dan penyalahgunaan narkotika yang kian tahun kian meningkat, membuat pemerintah, praktisi dan ahli pendidikan di sana miris dan prihatin. Tak usah jauh-jauh ke barat, di negeri kita sendiri, berita tentang kasus-kasus korupsi dan perselingkuhan para pejabat dan anggota DPR seringkali menghiasai layar televisi. Padahal mereka –orang-orang yang korupsi dan berselingkuh itu- adalah orang-orang yang pandai secara intelejensi.

Kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan manusia dewasa ini bersumber dari mesin-mesin industri temuan manusia sendiri. Pemanasan global (global warming), yakni menipisnya lapisan ozon di kutub utara dan selatan berdampak pada menerobosnya sinar matahari langsung ke bumi yang membahayakan kehidupan di bumi, merupakan persoalan terbesar masyarfakat dunia abad ini. Global warming sebagian besar dakibatkan oleh polusi yang muncul dari industri, terutama industri-industri negara-negara maju.

Beberapa gambaran ini menunjukkan bahwa kecerdasan intelejensi yang tidak didukung oleh kecerdasan emosi justru membawa manusia menuju kehancurannya sendiri. Tanpa kecerdasan emosi, manusia justru menjadi korban dari produk intelejensinya sendiri.


B. Kecerdasan Emosi (EQ)

Pengaruh krisis global begitu terasa. Permintaan pasar yang semakin menurun sementara biaya produksi semakin tinggi membuat banyak perusahaan gulung tikar. Bank- bank tak bisa lagi menyalurkan kredit kepada pengusaha karena khawatir kredit macet. Dampak sosial yang terjadi akibat krisis global sungguh parah, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan terjebak dalam kesulitan ekonomi. Kebetulan, salah satu dari mereka adalah tetangga anda sendiri, yang sebelumnya adalah seorang buruh kecil di sebuah perusahaan yang bangkrut. Dia tak kuat menahan beban manakala bayangan keluarganya yang butuh makan dan pendidikan menghinggapi pikirannya. Dia kehilangan pegangan dalam hidup hingga hampir bunuh diri. Melihat penderitaan yang dialami tetangga anda itu, anda membayangkan penderitaan-penderitaan yang dialaminya. Perasaan anda tergerak untuk memberi semangat hidup kepadanya untuk keluar dari krisis. Tidak hanya itu, anda juga membantunya dengan menyumbangkan sebagian harta anda kepadanya.

Atau seumpama anda yang menjadi menjadi korban krisis global. Ketika kesulitan menimpa anda, anda langsung menyadari bahwa memang begitulah siklus hidup manusia, kadang berada di atas dan kadang pula di bawah. Saat ini saya sedang berada di bawah. Kesulitan yang saya alami saat ini adalah ujian yang harus saya hadapi, karena manusia yang kuat adalah yang tahan terhadap segala macam ujian. Karena itu, saya harus bersabar sambil terus mengusahakan solusi terbaik agar bisa segera keluar dari krisis ini. Saya yakin dibalik setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya.
Cerita di atas melibatkan perasaan manusia, perasaan diri sendiri dan dalam hubungannya dengan manusia lainnya. Pada kisah pertama, tindakan anda yang menghibur dan membantu tetangga anda yang sedang kesulitan muncul dari perasaan anda yang merasa iba kepadanya. Sedang pada kisah kedua, pilihan mengambil sikap sabar dan koreksi diri muncul dari perasaan anda yang mengatakan bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya. Dengan demikian emosi adalah kesan yang muncul dari dalam diri kita yang muncul karena adanya respon dari luar diri yang sifatnya subyektif atau bukan bersumber dari penalaran rasional (intelejensi).

Secara lengkap kecerdasan emosional ialah “kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain” demikian definisi yang diberikan Daniel Goleman, psikolog yang pertama kali mempopulerkan istilah ini. Goleman juga menjelaskan beberapa ragam emosi sebagai berikut:

Amarah, seperti mengamuk, bengis, benci, jengkel kesal hati, dsb.
Rasa terganggu, seperti rasa pahit, tersinggung, merasa hebat, dsb.
Kesedihan, seperti pedih, sedih, asa, depresi berat.
Rasa takut, seperti cemas, takut, gugup, khawatir, waspada, tdak senang, tidak tenang, was-was, fobia, dan panik.
Kenikmatan, seperti bahagia, gembira, riang, puas, terhibur, bangga, takjub, senang sekali, dsb.
Cinta, seperti penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasih.
Terkejut, hina, jijik, mual, benci, tidak suka, mau muntah, dsb.
Malu, rasa salah, malu hati, kesal hati, terhina, aib, hancur lebur.

Teori lain tentang kecerdasan emosi diajukan oleh dua orang Psikolog dari Universitas Yale, Peter Salovey dan John Mayer pada tahun 1990, yang mengatakan bahwa emosi yang lepas kendali, dapat membuat orang menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan bisa menggunakan kemampuan-kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum. Kecerdasan emosi menuntut potensi kita untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya:
Kesadaran diri (mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya, dan intuisi)
Motivasi (mengelola kondisi, impuls, dan sumber daya diri sendiri)
Pengaturan diri (kecenderungan emosi yang memudahkan peraihan sasaran)
Empati (kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain)
Keterampilan sosial (keterampilan dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain)”

Perbedaan antara teori Salovey dan Mayer dengan teori Goleman terletak pada kalimat “keterampilan sosial”. Untuk implementasinya, saya ambil dari kisah Ary Ginanjar Agustian yang dituangkan dalam buku larisnya, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan (dengan beberapa pemotongan dari saya pada beberapa kalimat yang menurut saya tidak behubungan dengan tujuan saya menjelaskan teori di atas).

Dia ingin menawarkan proposal pelatihan EQ kepada seorang pengusaha di Bali dengan menemuinya langsung dirumahnya. “Saat saya masuk menuju ruangannya” kisah Ary “Mata saya berkeliling untuk mendapatkan segala informasi yang saya peroleh tentang dirinya. Mercedes mewah, piagam penghargaan, vandal-vandel penghargaan, foto-foto dirinya di luar negeri, dan sebagainya. Aha…!, saya mulai mengenalnya. Kebetulan pula saya membaca artikel di koran kemarin yang memampangkan dirinya sedang dilantik sebagai ketua sebuah organisasi perdagangan.

Kemudian ia mempersilahkan saya untuk mempresentasikan proposal saya, namun sebbelum masuk ke masalah bisnis, saya meminta waktu sepuluh menit untuk bicara masalah lain, dan ia mempersilahkan sambil mengingatkan saya, ‘jangan lebih dari sepuluh menit!’ Maka sesuai dengan teori EQ yang saya pelajari, saya langsung memberikan selamat karena ia terpilih sebagai ketua dalam sebuah organisasi perdagangan di tingkat provinsi. Dia tampak sangat senang dan bangga atas penghargaan saya.
Untuk lebih memastikan bahwa dia merasa dihargai dan terangkat, saya kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar kesuksesannya, agar dia bercerita lebih banyak lagi tentang dirinya. Lalu saya bertanya, ‘Bagaimana Bapak yang sudah sukses seperti ini masih mau memimpin organisasi yang jelas tidak menghasilkan uang?’ Dengan antusias ia bercerita tentang semua kisah suksesnya selama hampir dua jam. Setiap kali dia berbicara, saya anggukkan kepala saya dua kali per-lima menit, untuk menimbulkan kesan kagum dan menghargai. Tiba-tiba dia tersadar bahwa dia telah berbicara lebih dari dua jam, lewat dari waktu yang tadi ia tekankan. Dia langsung berkata kepada saya, ‘Mana proposalnya?’ sambil meraih proposal yang ada di hadapannya. Lalu saya menyelanya dengan sebuah pertanyaan. “bisakah saya mendemokan produk saya sekarang?’ Tiba-tiba dia menyergah, ‘Tidak usah, saya sudah cocok dengan produk anda, besok pasang di pabrik, di rumah, dan di hotel saya, ok!’ katanya sambil tersenyum bangga”.

Jadi, ketrampilan sosial adalah keahlian mengelola emosi dalam hubungannya dengan orang lain untuk menyatukan nilai-nilai yang dimiliki dengan nilai-nilai yang dipegang oleh orang lain. Akan tetapi saya lebih cenderung mengartikan ketampilan sosial sebagai keahlian merekayasa emosi sebagai usaha penyesuaian diri terhadap lingkungan yang tujuannya untuk meraih penerimaan lingkungan itu sendiri.
Dalam dunia bisnis dan politik ketrampilan sosial amat dibutuhkan. Partai-partai yang memenangkan pemilu 2009 adalah yang paling banyak mengedepankan ketrampilan sosial. Baik itu melalui iklan-iklan politik, bantuan sosial secara langsung kepada masyarakat, atau pendekatan-pendekatan persuasif-emotif lainnya.

Seusai pencontrengan pada pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 yang lalu, saya bertanya kepada beberapa orang ibu-ibu yang saya temui, “siapa calon legislatif yang ibu pilih tadi pagi?” rata-rata memberi jawaban sama, “Bapak A dari partai B”. Saya tanya lagi, “Memang kenapa, Bu pilih bapak A?” Jawaban mereka pun sama, “Soalnya bapak itu menyumbang masjid kampung sini kemarin 50 juta”. Masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih buta politik tentu saja lebih melihat kepada figur dan bantuan langsung daripada mengetahui program-progam partai peserta pemilu.

Kisah Ary dan kisah saya sendiri membuktikan kecerdasan emosi memberi sumbangsih besar terhadap kesuksesan manusia dalam karir dan materi. Para psikolog mengungkapkan, sumbangan intelejensi atas kesuksesan manusia cuma 20 %, dan 80 % sisanya adalah kecerdasan emosi. Pada intinya, perpaduan sempurna antara kecerdasan intelejensi dan emosi melahirkan manusia-manusia sukses dan unggul dalam berbagai bidang. Dia tidak hanya cerdas dalam pemikirannya, tapi juga baik dalam perilakunya (bermoral).

Namun seiring pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, terutama memasuki abad 21 ini yang melahirkan segala macam fasilitas canggih hingga manusia semakin mudah lagi menjalankan aktifitas hidupnya, banyak manusia yang terserang penyakit-penyakit kejiwaan seperti stress, depresi, dan gila. Rumah sakit-rumah sakit jiwa dan pusat-pusat bimbingan dan konseling kebanjiran pasien setiap bulannya. Selain itu, kasus-kasus bunuh diri di negara-negara maju tiap tahun meningkat. Sangat mengherankan, para penderita gangguan kejiwaan dan pelaku bunuh diri itu kebanyakan dari kaum berduit dan memiliki jabatan tinggi di lembaga-lembaga pemerintahan dan perusahan-perusahaan ternama.

Fenomena apakah ini? Untuk menjawabnya, saya ingin bercerita.
Rudy adalah seorang professional yang memegang jabatan penting sebuah di perusahaan ternama. Begitu ayam jantan berkokok Rudy sudah harus bangun. Bukan untuk bersujud menghadap Tuhan, tapi membayangkan jarak rumah dan kantornya yang jauh sekaligus wajah bosnya yang bisa berubah warna bila datang terlambat di kantor. Jam 3 sore dia sudah pulang dari kantor, melewati jalanan Jakarta yang macet hingga baru sampai di rumah jam 7 malam. Sesampainya di rumah dia disapa oleh istrinya yang juga baru pulang dari kantornya. Serelah itu dia makan malam bersama keluarga.

Setelah makan, ketika ingin beranjak ke tempat tidur, Rudy teringat berkas-berkas pekerjaannya yang belum selesai tadi siang. Mau tak mau anda harus mengerjakannya saat itu juga karena dua hari lagi bos anda mengatakan harus selesai. Sebab proyek yang sedang anda tangani akan memberikan keuntungan yang sangat besar kepada perusahaan bila berhasil, namun bila gagal nama baik peruhaan anda jadi taruhannya. Aktifitas seperti itu setiap hari di jalani oleh Rudy dan istrinya. Waktu luang baginya mungkin hanya hari libur, itu pun bila tidak diganggu oleh pimpinannya yang menyuruhnya ke kantor karena ada meting mendadak. Tak ada waktu bagi Rudy untuk memikirkan Tuhannya, karena setiap hari yang ada dipikirannya hanyalah pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan.

Rudy hanyalah contoh yang mewakili sekelompok manusia yang hidup selalu dikejar waktu dan berorientasi pada keuntungan material, dua karakter yang menjadi adalah ciri khas manusia modern. Bagi manusia macam ini, yang mengatur hidupnya bukanlah Tuhan, tetapi waktu dan motif memenuhi keuntungan material. Akibatnya, ketika kegagalan menimpa dan segala cara telah dilakukan untuk bangkit dari kegagalan tidak berhasil, maka mereka mejadi putus asa dan frustasi. Akhirnya, karena tak kuat menahan beban yang menimpa, pikirannya pendek, bunuh diri jadi solusi terakhir.
Hal ini berarti, kecerdasan emosi memerlukan tenaga pendorong agar senanatiasa aktif dalam diri manusia. Kecerdasan emosi adalah dasar yang harus dimiliki manusia guna menghadapi persoalan-persoalan hidup yang kian yang pelik dan kompleks. Namun ia bisa saja terkubur mati dalam jiwa manusia bila persoalan yang dihadapi itu sangat rumit dan buntu. Dia memerlukan energi pendorong agar bisa bangkit. Pembangkit itu bernama kecerdasan spiritual.


C. Kecerdasan Spiritual (SQ)

Pada tahun 1990, neuro psikolog asal Kanada, Dr. Pesinger melakukan penelitian lanjutan terhadap otak. Saat itu ia menghubungkan kepalanya sendiri dengan stimulator magnet transcranial, suatu piranti yang mengeluarkan medan magnetik yang kuat dan berubah-ubah dengan cepat di area kecil jaringan otak. Jika piranti ini digunakan untuk merangsang berbagai area di korteks motorik otak, otot-otot tertentu akan berkedut atau anggota badan akan bergerak sendiri. Jika area korteks visual diransang, orang buta sejak lahir pun dapat melihat. Piranti tersebut digunakan oleh Dr. Pesinger untuk merangsang lobus temporal, bagian otak yang berada tepat di bawah pelipis. Saat itu, Dr. Pesinger mengaku melihat Tuhan.

Penelitian yang sama berikutnya dilakukan oleh Peggy an Wright, mitra kerja Pesinger di Lesley College di Cambridge. Subyek penelitiannya adalah seorang dukun. Penelitian Wright menunjukkan bahwa tabuhan ritmis dalam ritus spiritual dapat mengaktifkan lobus temporal berikut area syitem limbik yang berkaitan dengannya.

Pada tahun 1997 Prof. V.S. Ramachandran, direktur Centre for Brain and Cognition di Universitas California, San Diego, melakukan penelitian terhadap pasien-pasien epilespi di sepanjang karir profesionalnya. Pasien-pasien yang telah pulih menuturkan pengalamannya, “Ada cahaya Ilahiah yang menyinari segala sesuatu”, “Ada kebenaran tertinggi yang berada di luar jangkauan fikiran biasa, yang tersembunyi di tengah riuh rendah kehidupan untuk menangkap keindahan dan keanggunannya”, atau pengakuan “Dokter, tiba-tiba semuanya terang benderang seperti Kristal. Tak ada lagi keraguan”. Setelah menemukan fakta demikian, Ramachandran melalukan penelitian terhadap manusia normal, tidak lagi pada penderita epilepsi. Kesimpulan yang didapat sama, menurut Ramachandran terdapat “titik Tuhan” (God Spot) atau modul Tuhan di bagian lobus temporal otak. Akhirnya dari sini disimpulkan lobus temporal adalah pusat kecerdasan spiritual manusia.

Apakah kecerdasan spiritual itu?

Istilah kecerdasan spiritual pertama kali diperkenalkan oleh Danah Zhohar dan Ian Marshal yang mengartikannya sebagai “kemampuan untuk memaknai hidup”. Lebih khusus kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk mengambil hikmah dari setiap peristiwa hidup dan perbuatan yang kita lakukan. Mencari makna hidup adalah memahami hakikat keberadaan kita di dunia dan –pada akhirnya- kita akan mengetahui ke arah mana setiap perbuatan kita ditujukan. Arah yang kita tuju itu adalah God Spot (titik Tuhan).

Kisah saya ini barangkali bisa membantu untuk menjelaskan kecerdasan spiritual. Pendidikan saya lebih banyak di pesantren, sebelas tahun lamanya saya menuntut ilmu di Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur. Di pesantren saya -juga pesantren-pesantren salaf lainnya- kami sering diminta bantuan tenaga sukarela oleh Kyai untuk mengerjakan beberapa aset milik beliau, seperti sawah, bangunan, dan lain-lain. Dalam pekerjaan itu, kami tidak diberi makan, lebih-lebih-lebih upah atas jerih payah kami. Mungkin hanya minum, itu pun juga kadang-kadang.

Ketika baru menjadi santri, saya menggerutu. Saya menganggap perintah kyai itu sebagai bentuk eksploitasi dan pemaksaan terhadap orang lain. Saat itu saya berpikir, santri-santri yang mengikuti roan -begitu kami menyebut kerja sukarela tersebut- juga memiliki anggapan yang sama dengan saya. Ternyata anggapan saya meleset. Saya terhenyak mendengar jawaban rata-rata dari mereka. Mereka mengatakan kepada saya, “Tenaga yang kita berikan untuk kyai, tidak sebanding dengan banyaknya ilmu yang beliau curahkan dan doa yang beliau panjatkan untuk kita”. Mereka juga menambahi khotbahnya, “Kita membantu beliau bukan untuk mendapatkan upah dari beliau, tetapi tabarrukan (mengharapkan menularnya nilai-nilai kebaikan dari orang-orang sholih kepada diri kita) kepada beliau dan sarana mendapatkan keridhoan (kerelaan) dari beliau. Sebab, kemanfaatan ilmu kita tergantung pada ridho atau tidaknya guru kita kepada kita”.

Untuk alasan pertama, oke lah saya terima, meski dengan sedikit keterpaksaan. Tapi untuk alasan kedua, saya sungguh musykil. Saya tidak menegerti apa yang mereka maksudkan dengan tabarruk dan ridho. Karena kebodohan hati saya, akal saya langsung menolak khotbah mereka mengenai dua istilah yang baru saya kenal itu.

Saya baru dapat memahami –tepatnya merasakan- penjelasan kawan-kawan senior saya itu beberapa tahun kemudian, tepatnya 3 tahun menjelang kelulusan saya. Ternyata, tujuan kyai “mengeksploitasi" kami adalah dalam rangka pendidikan kalbu, yakni mendidik kami supaya ikhlas dalam setiap perbuatan kami. Inilah metode pendidikan dahsyat yang hanya ditemukan di pesantren. Pesantren tidak hanya memberikan pendidikan teori dan doktrinasi nilai-nilai, tetapi integrasi nilai-nilai tersebut melalui keteladanan kyai, kebersamaan dalam satu asrama, dan aplikasi lapangan seperti kegiatan yang saya telah saya ceritakan.

Dalam banyak hal, banyak dari kita yang menjalani hidup tanpa makna, tanpa nilai. Kita membantu orang lain agar orang lain membantu kita. Kita mencintai orang lain agar orang lain mencintai kita. Anda mencintai orang lain atau membantu orang lain karena mengharapkan balasan cinta yang serupa dan bantuan yang senilai dengan bantuan anda kepadanya, ini motif emosional-material, bukan motif spiritual. Anda tak mampu memaknai hidup anda sendiri karena hidup bagi anda tak lebih sebuah transaksi, di mana perbuatan-perbuatan yang anda lakukan dasarnya untuk mencari keuntungan material dan penghargaan sosial berupa penghormatan dan pujian dari orang lain. Dalam hubungan ini, anda memberi sesuatu untuk sesuatu.

Efek dari menjalani hidup tanpa nilai, anda akan mengalami goncangan-goncangan kejiwaaan bila harapan dan keinginan anda tidak tercapai. Ketika cinta anda tidak berbalas atau orang yang anda bantu mengecewakan anda, atau ketika harapan anda tidak terkabul sementara dalam diri anda sudah tertanam keyakinan yang mantap akan keberhasilannya, maka anda menjadi kecewa, frustasi, depresi, dan ujungnnya bunuh diri. Ini bukti bahwa kecerdasan intelejensi dan emosional saja belumlah cukup.
Manusia mungkin bisa sukses dengan dua kecerdasan tintelejensi dan emosional, tapi manusia tidak merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Bukankah yang dicari dalam hidup ini kebahagiaan, bukan semata-mata materi dan kehormatan?

Hidup tanpa makna adalah hidup materialistis dan hedonis, yakni pola hidup yang mendasarkan pada tujuan-tujuan material dan kesenangan-kesenangan pribadi yang selama ini menjadi pegangan hidup masyarakat barat. Namun, belakangan ini kecenderungan seperti itu semakin terkikis. Rupanya mereka mulai menyadari bahwa gaya hidup demikian tidak membuat mereka mempelajari bahagia, bahkan semakin menggersangkan jiwa-jiwa mereka. Maka tak heran, beberapa tahun belakangan ini milyuner-milyuner Amerika dan artis-artis Hollywood berbondong-bondong memasuki ajaran-ajaran spiritual timur seperti Budhisme, Taoisme, Konfusianisme, dan spiritualitas Hindu. Kini tokoh-tokoh seperti Sidharta Gautama, Mahatma Ghandi, Lao Tze, Konfusius menjadi idola mereka, menggantikan tokoh-tokoh seperti Montesqiu, John Locke, Descartes, Newton, serta tokoh-tokoh ilmu pengetahuan Barat lainnya.

Rabu, 16 Desember 2009

Khitan

Khitan merupakan sesuatu yang difithrahkan untuk manusia . Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

Artinya : Fithrah itu ada lima : Khitan , mencukur rambut kemaluan ,mencabut bulu ketiak , memotong kuku , dan memotong kumis . ( HR. Al-Bukhary Muslim )

Oleh karena itu khitan ini merupakan syari'at umat-umat sebelum kita juga . Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang khitannya Nabi Ibrahim :

اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالْقَدُومِ

Ibrahim 'alaihissalam telah berkhitan dengan qadum(nama sebuah alat pemotong) sedangkan beliau berumur 80 tahun . ( HR. Al-Bukhary Muslim )

Khitannya Nabi Ibrahim juga tercantum di dalam kitabnya orang yahudi ( Perjanjian Lama , Kejadian 17/ 11 ) , dan ini merupakan syari'atnya Nabi Musa . Oleh karena itu Nabi Isapun berkhitan karena beliau mengikuti syari'atnya Nabi Musa . ( Injil Lukas 2/ 21 ) .

Ada perbedaan pendapat tentang hukum khitan . Namun pendapat yang kami anggap lebih kuat adalah yang mengatakan bahwa khitan wajib bagi laki-laki selama tidak ditakutkan meninggal atau sakit , dan sunnah bagi wanita.

Dalil-dalil atas wajibnya khitan bagi laki-laki , diantaranya :
1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang masuk islam untuk berkhitan . Dan asal perintah adalah wajib . Beliau bersabda :
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
Artinya : Hilangkan darimu rambut kekafiran ( yang menjadi alamat orang kafir ) dan berkhitanlah . ( HR. Abu Dawud , dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany )

2. Khitan membedakan antara orang islam dengan orang kafir .

3. Khitan adalah memotong sebagian tubuh , sedangkan memotong sebagian tubuh adalah haram , dan sesuatu yang haram tidak diperbolehkan kecuali dengan sesuatu yang wajib .

4. Khitan bagi laki-laki berkaitan dengan syarat diantara syarat-syarat shalat yaitu thaharah ( bersuci )

Dalil-dalil atas sunnahnya khitan bagi wanita , diantaranya :

1. Di dalam sebuah hadist Ummu 'Athiyyah bahwasanya di Madinah ada seorang wanita yang ( pekerjaannya ) mengkhitan wanita , kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

Artinya : Jangan berlebihan di dalam memotong , karena yang demikian itu lebih nikmat bagi wanita dan lebih disenangi suaminya . ( HR. Abu Dawud , dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany ) .

2. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَتَوَارَتْ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

Artinya : Kalau bertemu dua khitan dan tenggelam khasyafah ( ujung dzakar ) , maka wajib untuk mandi . ( HR . Ibnu Majah , dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany )
Ini menunjukkan bahwa wanitapun berkhitan .

3. Khitan bagi wanita hanya berkaitan dengan sebuah kesempurnaan saja yaitu pengurangan syahwat .

Khitan secara bahasa artinya memotong. Secara terminologis artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis). Dalam bahasa Arab khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadist yang mengatakan "Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim, Tirmidzi dll.).

Dalam agama Islam, khitan merupakan salah satu media pensucian diri dan bukti ketundukan kita kepada ajaran agama. Dalam hadist Rasulullah s.a.w. bersabda:"Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku" (H.R. Bukhari Muslim).

Faedah khitan

Seperti yang diungkapkan para ahli kedokteran bahwa khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit tersebut. Semakin lama endapan tersebut semakin banyak. Bisa dibayangkan berapa lama seseorang melakukan kencing dalam sehari dan berapa banyak endapan yang disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam setahun. Oleh karenanya beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita penyakit kelamin lebih banyak dari kelangan yang tidak dikhitan. Begitu juga penderita penyakit berbahaya aids, kanker alat kelamin dan bahkan kanker rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak dikhitan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan non muslim di Eropa dan AS melakukan khitan.